Minggu, 06 Juni 2010

Orang Sunda Memiliki Tradisi Egaliter, Demokratis dan Religius “Menjawab Kelangkaan Candi di Jawab Barat”

Seorang teman yang berasal dari Jawa Tengah selalu melontarkan guyonan, “duh kasian amat ya..orang Sunda tidak punya peninggalan candi, eh ngapain aja ya orang Sunda jaman dulu?” hal itu memang selalu mengelitik benak saya sejak masih kuliah, namun beberapa waktu yang lalu saya malah merasa bangga dengan kelangkaan candi di Jawa Barat, Mengapa hal ini malah membuat saya bangga ? Karena setelah membaca banyak buku, berdiskusi dengan beberapa ilmuwan dan saya menemukan artikel dari seorang sejarawan Dosen IAIN Sunan GunungJati, terbukalah jawaban yang selama ini saya cari.

Dulu waktu saya kuliah, Dosen arkeologi mengatakan bahwa kelangkaan candi di Jawa Barat karena masyarakat Jawa Barat menyembah Dewa Wisnu bukan Dewa Syiwa sepereti di Jawa Tengah. Oleh karena itu Dewa Wisnu tidak memerlukan persembahan berupa bangunan megah, karena Dewa Wisnu adalah pemelihara alam. Jawaban ini lumayan membuat saya diam tetapi tidak membuat saya puas.

Beberapa bulan lalu, teman saya menjawab pertanyaan tentang kelangkaan Candi di Jawa Barat. Menurut beliau berdasar dari sebuah novel klasik yang terbit baru-baru ini bahwa kelangkaan candi menyangkut kejayaan orang Sunda, kenapa orang sunda tidak jaya karena kerajaan Sunda penuh dengan pertumpahan darah, intrik, skandal dll. Namun hal ini saya bantah karena kerajaan di Jawa Tengah untuk soal intrik, skandal dan pertumpahan darah lebih kental lagi.

Menurut artikel sejarawan Moeflich Hasbullah, (tahun 2000), bahwa kelangkaan Candi di Jawa Barat jawabannya ada beberapa hal, yakni pertama konsep Monoteisme orang Sunda, sosiologis-agrikultural , Islamisasi dan Tradisi Egaliter Oang Sunda.

Konsep Monoteisme yakni orang Sunda menyembah “Sanghyang” (pencipta), konsep Kahiyangan adalah sebuah konsep abstrak tidak memerlukan tempat dan fisik, sehingga Orang Sunda tidak memerlukan bangunan megah untuk menyembah Sang Pencipta. Konsep Ngahyang juga konsep menuju kesempurnaan. Berbeda dengan Orang Jawa Tengan yang memiliki konsep Dewa-raja dan Kaula-Gusti sehingga pencipta sama dengan raja perlu dibuat persembahan yang agung dan megah. Konsep Sanghyang menurut saya sebuah konsep yang sempurna dan memiliki filosofi tinggi seperti sebuah Moksa dalam agama Hindu.

Dalam buku Sejarah Nasional, dikatakan bahwa orang Belanda mengatakan Orang Sunda dengan Orang Jawa Gunung, karena hidup di pegunungan. Selain itu konsep Orang Sunda masih melakukan konsep “berhuma” bercocok taman berpindah-pindah sehingga tidak memerlukan bangunan yang permanent dan megah.

Selain itu faktor Islamisasi di Tatar Sunda sangat intensif karena tidak mendapat perlawanan yang keras dari kerajaan maupun masyarakatnya. Hal ini menurut saya disebabkan adanya kesamaan konsep monoteisme antara Islam dan kepercayaan Orang Sunda, yakni “Sanghyang” (abstrak). Karena islamisasi yang intensif kemungkinan bangunan Candi banyak yang telah dihancurkan.

Orang Sunda terkenal dengan Keegaliterannya, Tradisi egaliter atau tradisi mengakui bahwa manusia itu sederajat. Orang Sunda lebih demokratis, egaliter. Berbeda dengan tradisi Jawa yang Hierakis-Feodal dengan konsep Kaula-Gusti. Tradisi Egaliter orang Sunda terlihat dalam memaknai ceita Wayang. Orang Sunda melihat pagelaran wayang sebagai hiburan dan nasehat-nasehat sedangkan Orang Jawa pagelaran Wayang sebagai sumber kehidupan, filosofi yang harus ditiru dari raja-pendeta untuk rakyat.

Kesimpulan dari kelangkaan Candi di Jawa Barat memperlihatkan kebudayaan Orang Sunda yang egaliter, demoktratis, religius. Tidak ada jarak yang jauh antara raja dan rakyat, tidak ada simbol-simbol yang memisahkan raja dan rakyatd, sehingga Orang Sunda memiliki pribadi yang toleran, demokratis dan religius. Jadi kalau ada mengejek mengapa candi langka di di Jawa Barat, sudah cukuplah mereka mendengarkan jawabannya.

Salam
Bandung, 1 Juni 2010
Ummuy


Sumber:
Sejarah Nasional Indonesia, jilib III.
Artikel “Menjawab Kelangkaan Candi di Jawa Barat” Moeflich Hasbullah, tahun 2000
Artikel; http://artikel.uingsgd.ac.id/

Senin, 08 Februari 2010

Polemik di Balik Kisah Pencipta Lagu "Halo - Halo Bandung"

Di Balik Kisah Penciptaan Lagu "Halo-Halo Bandung"Penciptaan lagu Halo-halo Bandung Bandung meningalkan misteri tersendiri tentang siapa pencipta sebenarnya. Lagu ini dikenal secara umum pencintanya adalah Ismail Marzuki, namun banyak yang meragukan karena pada umumnya lagu karya Ismail Marzuki berirama lambat dan romantis. Sedangkan lagu Halo-halo Bandung berirama cepat dan heroik. Polemik pencipta lagu ini sempat mengemukan di Koran Harian "Sinar Harapan" terbitan bulan November tahun 1985. Karena banyak yang mengaku sebagai pencipta lagu itu. Tetapi menurut salah seorang pejuang Pestaraja Humala Sandungan Marpaung (Bang Maung) Pasukan Istimewa (PI) yang berjuanga saat Peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) mengatakan, bahwa pencipta lagu Halo-halo Bandung bukan perorangan tetapi merupakan hasi ciptaan bersama-sama para pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa.

Proses penciptaan lagu Halo-halo Bandung menurut Bang Maung dilatarbelakangi oelh perjuangan pemuda Bandung yang berasal dari berbagai suku bangsa. Lagu ini diawali oleh kata "Hallo" yang menjadi sapaan khas pemuda Medan akibat pengaruh film2 cowbaoy Amerika Kemudian ada pejuang dari Maluku salah satunya Leo Lapulisa, Palupessy jika datang "Sudah lama Beta tidak berjumpa dengan Kau" (wancara dengan Bang Maung,n tanggal 11 September 1997}Kemudian lagu ini dipopulerkan oleh grup Toniel milik Pak Kasur. kemudian lagu ini sering dinyanyikan di Yogyakarta setelah pasukan Divisi III Siliwangi hijrah, tak lama kemudian lagu Halo-halo Bandung sering dicantumkan bahwa penciptanyanya adalah Ismail Marzuki.

(Sumber buku "Saya Pilih Mengungsi"Oleh : Ummy Latifah (salah satu penulis buku "Saya Pilih Mengungsi)

Perjalanan Spiritual Bujangga Manik (Benarkah Laki-laki Sunda tidak suka mengembara??)

Benarkah Laki-laki Sunda tidak suka mengembara karena Tatar Sunda menyediakan kekayaan alam yang melimpah dan nyaman. Apakah mitos itu dapat dipatahkan oleh“Perjalanan Spiritual Bujangga Manik?”

Mitos laki-laki Sunda tidak senang mengembara dan mencari ilmu dan pengalaman ke berbagai tempat dapat dipatahkan oleh cerita seorang Pangeran dari Kerajaan Pakuan yaitu Bujangga Manik. Pangeran yang berjuluk Bujangga Manik itu mengembara mencari ilmu dengan cara yang unik yaitu menjelajah Pulau Jawa dengan berjalan kaki termasuk menjelajahi Cekungan Bandung. Beliau menziarahi tempat-tempat suci keagamaan yang dilaluinya, menetap di beberapa perguruan dan menuntut ilmu.


Pengalaman pengembaraan Bujangga Manik dituangkan dalam lembaran-lembaran lontar sebagai suatu catatan perjalanan spiritual. Lontar-lontar Bujangga Manik sekarang tersimpan di Perpustakaan Bodleian Oxford Inggris sejak tahun 1927. Interpretasinya telah disusun oleh J.Noorduyn (1982) yang telah diterjemahkan oleh Iskandar Wasid (1984). Bekerjasama dengan KITLV dan LIPI. Perjalanan Spiritual Bujangga Manik ini juga telah diterjemahkan oleh Hawe Setiawan dengan judul buku “Tiga Pesona Sunda Lama”.


Salah satu perjalanan spiritual Bujangga Manik yang luar biasa selama bertahun-tahun menyusuri pengunungan di Jawa Barat diteruskan hingga Semarang dan Demak. Dari sana berbelok ke arah tenggara menuju Gunung Lawu menyusuri kali Brantas hingga ke ibukota Majapahit Trowulan. Dia meneruskan perjalanan hingga ke arah timur Pulau Jawa yakni Blambangan. Mampir ke Pulau Bali, kembali ke selatan ke Rabut Palah (Candi Panataran) yang merupakan pusat keagamaan Kerajaan Majapahit, Bujangga Manik cukup lama tinggal dan berguru. Dari hasil belajarnya Bujangga Manik dengan bangga berujar telah mempelajari berbagai kitab dan bisa berbahasa Jawa.


Selain belajar ilmu keagamaan Bujangga Manik dalam catatannya menurutnya guru yang paling bijak dan hebat adalah alam. Kemudian Bujanga Manik kembali ke Jawa Barat melalui arah selatan Solo, Progo, Purworejo hingga ke Galunggung dan Gunung Papandayan hingga ia menyusuri perbukitan di Cekungan Bandung. Perjalanannya melalui Cekungan Bandung dapat diketahui dengan menyebutkan daerah-daerah yang ia lalui seperti “Aku menyebrang Ci Santi, menanjak Gunung Wayang, setelah aku di sana, tiba di Mandala Beutung ke Belakang bukit Malabar, ke Gunung Guntur, Mandalawangi hingga ke Kendan”.Kerinduan akan tatar Sunda merupakan akhir dari perjalanan Bujangga Manik menemukan kabuyutan di hulu Ci Sokan, Cianjur Selatan.


Adakah ini situs Gunung Padang di Lampegan, Campaka, Cianjur? Bujangga Manik mendeskripsikan tempat terseubt sebagai tempat agung yang berundak-undak, yang kemudia ia benahi dan tinggal di sini sebagai persiapan perjalanan menujua Tuhannya.Begitulah perjalanan spiritual Bujangga Manik seorang Pangeran Kerajaan Sunda yang telah mencatat lebih kurang 450 nama tempat dan lokasi geografis yang dituangkan dalam 1641 baris dalam lontar yang belum lengkap. Perjalanan Spiritual Bujangga Manik ini mengingatkan kita orang Sunda untuk mengenal alam dan lingkungannya, bahwa orang Sunda memiliki jiwa petualang dan pengembara, karena alam tatar Sunda menyediakan alam yang gemah ripah, dan tak terbatas sehingga kerinduan akan kembali ke Tatar Sunda sangat kuat, menurut T. Bachtiar.


(Sumber: dikutip dari buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung” karya T.Bachtiar dan Budi Brahmantyo, penerbit Truedee Pustaka Sejati.)