Senin, 08 Februari 2010

Polemik di Balik Kisah Pencipta Lagu "Halo - Halo Bandung"

Di Balik Kisah Penciptaan Lagu "Halo-Halo Bandung"Penciptaan lagu Halo-halo Bandung Bandung meningalkan misteri tersendiri tentang siapa pencipta sebenarnya. Lagu ini dikenal secara umum pencintanya adalah Ismail Marzuki, namun banyak yang meragukan karena pada umumnya lagu karya Ismail Marzuki berirama lambat dan romantis. Sedangkan lagu Halo-halo Bandung berirama cepat dan heroik. Polemik pencipta lagu ini sempat mengemukan di Koran Harian "Sinar Harapan" terbitan bulan November tahun 1985. Karena banyak yang mengaku sebagai pencipta lagu itu. Tetapi menurut salah seorang pejuang Pestaraja Humala Sandungan Marpaung (Bang Maung) Pasukan Istimewa (PI) yang berjuanga saat Peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) mengatakan, bahwa pencipta lagu Halo-halo Bandung bukan perorangan tetapi merupakan hasi ciptaan bersama-sama para pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa.

Proses penciptaan lagu Halo-halo Bandung menurut Bang Maung dilatarbelakangi oelh perjuangan pemuda Bandung yang berasal dari berbagai suku bangsa. Lagu ini diawali oleh kata "Hallo" yang menjadi sapaan khas pemuda Medan akibat pengaruh film2 cowbaoy Amerika Kemudian ada pejuang dari Maluku salah satunya Leo Lapulisa, Palupessy jika datang "Sudah lama Beta tidak berjumpa dengan Kau" (wancara dengan Bang Maung,n tanggal 11 September 1997}Kemudian lagu ini dipopulerkan oleh grup Toniel milik Pak Kasur. kemudian lagu ini sering dinyanyikan di Yogyakarta setelah pasukan Divisi III Siliwangi hijrah, tak lama kemudian lagu Halo-halo Bandung sering dicantumkan bahwa penciptanyanya adalah Ismail Marzuki.

(Sumber buku "Saya Pilih Mengungsi"Oleh : Ummy Latifah (salah satu penulis buku "Saya Pilih Mengungsi)

Perjalanan Spiritual Bujangga Manik (Benarkah Laki-laki Sunda tidak suka mengembara??)

Benarkah Laki-laki Sunda tidak suka mengembara karena Tatar Sunda menyediakan kekayaan alam yang melimpah dan nyaman. Apakah mitos itu dapat dipatahkan oleh“Perjalanan Spiritual Bujangga Manik?”

Mitos laki-laki Sunda tidak senang mengembara dan mencari ilmu dan pengalaman ke berbagai tempat dapat dipatahkan oleh cerita seorang Pangeran dari Kerajaan Pakuan yaitu Bujangga Manik. Pangeran yang berjuluk Bujangga Manik itu mengembara mencari ilmu dengan cara yang unik yaitu menjelajah Pulau Jawa dengan berjalan kaki termasuk menjelajahi Cekungan Bandung. Beliau menziarahi tempat-tempat suci keagamaan yang dilaluinya, menetap di beberapa perguruan dan menuntut ilmu.


Pengalaman pengembaraan Bujangga Manik dituangkan dalam lembaran-lembaran lontar sebagai suatu catatan perjalanan spiritual. Lontar-lontar Bujangga Manik sekarang tersimpan di Perpustakaan Bodleian Oxford Inggris sejak tahun 1927. Interpretasinya telah disusun oleh J.Noorduyn (1982) yang telah diterjemahkan oleh Iskandar Wasid (1984). Bekerjasama dengan KITLV dan LIPI. Perjalanan Spiritual Bujangga Manik ini juga telah diterjemahkan oleh Hawe Setiawan dengan judul buku “Tiga Pesona Sunda Lama”.


Salah satu perjalanan spiritual Bujangga Manik yang luar biasa selama bertahun-tahun menyusuri pengunungan di Jawa Barat diteruskan hingga Semarang dan Demak. Dari sana berbelok ke arah tenggara menuju Gunung Lawu menyusuri kali Brantas hingga ke ibukota Majapahit Trowulan. Dia meneruskan perjalanan hingga ke arah timur Pulau Jawa yakni Blambangan. Mampir ke Pulau Bali, kembali ke selatan ke Rabut Palah (Candi Panataran) yang merupakan pusat keagamaan Kerajaan Majapahit, Bujangga Manik cukup lama tinggal dan berguru. Dari hasil belajarnya Bujangga Manik dengan bangga berujar telah mempelajari berbagai kitab dan bisa berbahasa Jawa.


Selain belajar ilmu keagamaan Bujangga Manik dalam catatannya menurutnya guru yang paling bijak dan hebat adalah alam. Kemudian Bujanga Manik kembali ke Jawa Barat melalui arah selatan Solo, Progo, Purworejo hingga ke Galunggung dan Gunung Papandayan hingga ia menyusuri perbukitan di Cekungan Bandung. Perjalanannya melalui Cekungan Bandung dapat diketahui dengan menyebutkan daerah-daerah yang ia lalui seperti “Aku menyebrang Ci Santi, menanjak Gunung Wayang, setelah aku di sana, tiba di Mandala Beutung ke Belakang bukit Malabar, ke Gunung Guntur, Mandalawangi hingga ke Kendan”.Kerinduan akan tatar Sunda merupakan akhir dari perjalanan Bujangga Manik menemukan kabuyutan di hulu Ci Sokan, Cianjur Selatan.


Adakah ini situs Gunung Padang di Lampegan, Campaka, Cianjur? Bujangga Manik mendeskripsikan tempat terseubt sebagai tempat agung yang berundak-undak, yang kemudia ia benahi dan tinggal di sini sebagai persiapan perjalanan menujua Tuhannya.Begitulah perjalanan spiritual Bujangga Manik seorang Pangeran Kerajaan Sunda yang telah mencatat lebih kurang 450 nama tempat dan lokasi geografis yang dituangkan dalam 1641 baris dalam lontar yang belum lengkap. Perjalanan Spiritual Bujangga Manik ini mengingatkan kita orang Sunda untuk mengenal alam dan lingkungannya, bahwa orang Sunda memiliki jiwa petualang dan pengembara, karena alam tatar Sunda menyediakan alam yang gemah ripah, dan tak terbatas sehingga kerinduan akan kembali ke Tatar Sunda sangat kuat, menurut T. Bachtiar.


(Sumber: dikutip dari buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung” karya T.Bachtiar dan Budi Brahmantyo, penerbit Truedee Pustaka Sejati.)